Puisi Karya WS Rendra “Mencari Bapak” dan Analisis

Puisi WS Rendra

Artikel ini kami akan menyajikan Puisi WS Rendra Mencari Bapak dan Analisis terkait isi puisi. Adapun analisis ini sifatnya subjektif dan setiap orang bisa berbeda dalam memberi makna pada setiap karya terbaik penyair terkenal. Silakan disimak.

Puisi Karya WS Rendra “Mencari Bapak”

Namaku Suto
ketika aku lahir
hujan turun dengan lebatnya
di ujung senjakala.
Sebagai bayi tubuhku terlalu besar.
Aku lahir dengan kaki lebih dulu.
Ibuku berteriak: “Aaak !“ — lalu mati.

Begitulah aku lahir tanpa ibu.
Tangisku keras mengalahkan hujan.
Kilat menggelegar bertalu-talu
aku tandingi dengan tangisku.

Ayahku Tuan Besar.
Rumah besar. Harta besar.
Kuasa besar. Kakinya besar.
Pegawainya besar pula jumlahnya.

Ia melihat ibuku mati.
Ia cium keningnya,
sambil meneteskan air-mata.
Lalu ia memandang padaku,
dan kepada seorang pelayan ía berkata:
“Asuhlah ia di gedung samping.
Cukupilah kebutuhannya.
Tangisnya terlalu kuat.
Sungguh terlalu keras suaranya.”

Umurku sepuluh bulan
aku bisa berjalan.
Umurku setahun aku bicara.
Dengan kuat aku hisap tetek babu,
aku kempit pinggangnya
dengan pahaku.
Setelah umur dua tahun,
aku menggambar dan menyanyi.

Seluruh lantai
dengan kapur aku gambari.
Seluruh tembok
dengan arang aku coreti.
Dan aku menggambar sambil menyanyi.

Babu pengasuhku sering berkata:
“Sekali waktu ayahanda akan murka.
Lantai dan tembok bukan tempat menggambar.
Dan lagijangan terlalu keras-keras bernyanyi.”

Aku tidak mengindahkan
kata-kata pengasuhku.
Permainanku yang utama
adalah menggambar dan bernyanyi.
Di situlah aku mendapat kepuasan.

Pada suatu hari
ketika umurku lewat empat tahun
ayahku datang dan berkata:
“Aku membawa hadiah untukmu.
Inilah pinsil dan kertas gambar.
Jangan lagi lantai dan tembok kamu gambari.”

“Aku tidak mau pinsil dan kertas gambar.
Terlalu kecil.
Aku suka menggambar besar.
Aku suka tembok dan lantai.”

“Apakah kamu hanya suka gajah ?“

“Tidak
aku menggambar orang dan kuda.
Tetapi besar-besar. Selalu besar-besar.”

“Kamu bengal!
Aku juga tidak senang
kamu terlalu keras menyanyi.”

“Aku ingin suling !“ sahutku.

“Tidak boleh !“ kata ayahku.
“Suling akan menambah kegaduhan.”

Di hari ulang tahunku yang kelima
aku datangi penjaga gudang,
seorang pegawai yang sudah tua.
Aku jambak rambutnya,
dan aku berkata:
“Berikan padaku sulingmu !“
Ia menolak dan meronta.
Aku pukul kepalanya dengan kayu.
Ia pingsan. Lalu aku curi sulingnya.

Pada suatu siang, selesai makan,
aku meniup sulingku.
Aku teringat dongeng orang tentang ibu.
Aku lebih lebur ke dalam sulingku.

Tiba-tiba pengawal ayahku datang:
“Tuan Muda
ayahanda sedang akan beradu
permainan suling Anda
sangat mengganggu tidur siangnya.”

“Aku bersuling mengenang ibu.
Janganlah aku kamu ajak bicara.
Pergilah kamu !“

Tidak lama kemudian
pengawal itu datang lagi:
“Maaf Tuan Muda
tetapi beginilah titah ayahanda.”
Lalu aku dibekuk dan dipanggulnya.

Aku dibawa ke rumah besar.
Diletakkan aku di lantai pendopo
ayahku berdiri di depanku.

“Kamu bengal !“ kata ayahku.
“Sejak bayi suaramu terlalu keras.
Tangismu keras. Nyanyimu keras.
Kamu adalah kegaduhan dalam hidupku.
Aku tidak suka kepadamu !“

Aku duduk di lantai.
Aku tatap mata ayahku.
Aku tiup suling
sambil menatap mata ayahku.
Yang kupikir adalah ibuku.

Alis-mata ayahku terangkat naik.
Napasnya menjadi deras.
Ia membungkuk
lalu menampar pipiku.
Sulingku terpelanting.
Aku terpelanting.
Darah keluar dan mulutku.
Aku usap dengan tangan
lalu aku tatap ayahku.

“Singkirkan ía dan sini !“
titah ayahku, “Aku membuangnya !“

Pengawal menyeretku
dan melemparkan aku ke luar halaman.
Di tepi jalan aku menangis.
Capek menangis aku menyanyi.
Akhirnya hari senja.

Aku berdiri.
Aku hampini gerbang halaman
dan berkata kepada penjaganya:
“Buka gerbang. Aku mau masuk.”

Penjaga itu menggelengkan kepala.
“Menurut titah ayahanda
Anda tidak boleh masuk.
Anda sudah dibuang.
Pergilah jauh, ke dalam kegelapan.”

Malam gelap sekali.
Suara serangga lebih tajam kedengarannya.
Aku merasa tergetar.
Meskipun kecut, aku kepalkan tanganku.
Aku berlari, menyerbu kegelapan.

Beberapa jam berlari
akhirnya aku sampai ke pasar.
Capek dan lapar
aku tidur di atas bangku.

Hari berikutnya aku berjalan lagi
tanpa tahu ke mana arahnya.
Di siang hari aku tak kuasa menahan lapar.
Aku hampiri seorang lelaki di pinggir toko.
Aku tarik lengan bajunya
dan aku acungkan telapak tanganku.
Ia menatapku.
Aku membalas menatapnya.
Ia terpesona. Aku menatapnya.
“Anak cakep !“ katanya.
Lalu ia pungut uang dan sakunya
diberikan kepadaku.

Ketika aku makan di pasar
banyak anak merubungku.
Pakaian mereka compang-camping,
mata beringas, badan kotor.

Seorang anak yang terbesar
menghampiriku dan berkata:
“Kamu anak baru !“
Aku tidak menyahut.
Dalam hati aku senang mereka.
“Siapa namamu ?“
Aku tidak menyahut.
Aku kurang senang bau tubuhnya.
“Kamu sombong !“ katanya.
“Jangan ganggu !“ kataku.
Semua anak tertawa.
Yang satu itu menjadi gemetar
dengan muka merah padam.
Ia julurkan tangannya.
Aku dicekiknya.
Lalu aku tendang kemaluannya.

Kami berkelahi.
Semua anak mengeroyokku.
Darah mengalir dari kepalaku.
Darah mengalir dari wajahku.
Dunia berputan. Aku pingsan.

Di malam harinya
dengan kepala dan muka penuh luka,
dengan seluruh tubuh merasa kaku.
Aku pergi mencari mereka.

Aku lihat mereka tidur di bangsal pasar.
Pemimpinnya tidur di pojokan.
Aku pergi mencari api.
Lalu aku kembali dan membakar bangsal pasar.

Lintang pukang mereka berlari.
Aku lempari mereka dengan batu.
Pemimpinnya aku hampiri.
Ia terlambat berdiri.
Aku pukul kepalanya dengan bata.
Ia mendelik dan berkata: “Kamu iblis !”
Lalu ia tak sadarkan diri. Barangkali mati.

Kemudian aku melarikan diri.
Sejak saat itu aku selalu berpindah-pindah.
Mengembara. Ke mana saja arahnya.
Dari kota ke kota seperti menghitung gundu.
Dan desa ke desa seperti menghitung kenangan.

Pada waktu umurku sepuluh tahun
aku kumpulkan pengemis-pengemis kecil
aku ajari menyanyi,
main gendang, suling dan rebana.

Kami mengemis sambil menyanyi.
Dar kota ke kota seperti merangkai merjan.
Dari desa ke desa seperti merangkai bunga.

Ketika usiaku dua belas tahun
pecahlah perang.
Tentara asing menduduki negara.
Aku dan teman-temanku lari
masuk ke dalam hutan.

Kami hidup dari mencuri
kami hidup dari buah-buahan
kami tidak lagi bisa bernyanyi.
Anak-anak yang hilang
menggabung kepada kami.

Pada waktu usiaku enam belas tahun
perang selesai. Musuh pergi.
Kami turun kembali ke kota.
Beberapa anak pergi
mencari orang tuanya.

“Siapa orang tuamu ?“
salah sorang bertanya kepadaku.
“Aku anak kuntilanak !“
jawabku.

Dan lalu pikiranku melayang.
Serasa aku terangkat dari tanah.
Debar jantungku menjadi pelan.
Ubun-ubun kepalaku serasa terbuka.

Aku teringat rumah ayahku.

Aku mencuri cat.
Di malam hari aku membuat gambar:
di aspal jalan, di tembok-tembok.
Di siang hari aku pergi ke hutan
omong-omong dengan pohonan.
Aku merasa sunyi, melayang-layang.

Tujuh hari aku merasa aneh.
Pada hari ketujuh aku naik ke gunung.
Di puncaknya memandang ke bawah
melihat dunia yang luas.
Lalu memandang ke atas
melihat langit.
Dan di kejauhan
langit dan bumi bertemu di cakrawala.

Maka pada malam harinya,
keadaan gelap gulita.
Mendung menutupi bintang-bintang.
Angin menyapu dan menderu.

Di dalam kegelapan aku berdiri
aku berseru sekuat tenaga:
“Ayah, aku datang mencarimu !“

Kemudian teman-teman aku kumpulkan.
“Kita menyanyi dan mengemis lagi !“ kataku.
“Kita akan mengembara.
Aku ingin mencari ayahku.”

Tiba-tiba teman-temanku terpaku.
Ada yang memalingkan muka.
Ada yang menundukkan kepala.
Mereka meneteskan air mata.

Salah satu berkata:
“Akujuga ingin mencari bapa.”
Segera yang lain bicara sama.
Mereka tidak ingin sebatang-kara.

“Kali mengalir menuju lautan.
Langit dan bumi
bertemu di cakrawala.
Kita akan pergi mencari bapa,”
begitu kataku kepada mereka.

Tujuh tahun kami mengembara.
Dari kota ke kota seperti menghitung bintang.
Dari desa ke desa seperti menghitung mega.

Dan setiap kali
ada yang datang kepada kami
seraya berkata:
“Akujuga mencari bapa.”

Maka barisan kami semakin besar.
Kami mencegat kereta api.
Kami acungkan tangan.
Dan kepada masinis aku berkata:
“Barisan kami ini
akan menumpang di atas gerbong.
Kami semua mencari bapa.”

Masinis itu berdiri mengangkang.
Kedua matanya tidak sama besarnya,
menatap kepadaku.
Aku pun juga menatapnya.
“Aku seperti pernah melihatmu!” katanya.

Dua orang temanku
menghampiri masinis itu
dan mencekik lehernya.
“Apajawabmu ?“ tanyaku.
“Naiklah !” katanya.
Lalu teman-teman melepas lehernya.

Masinis itu menangis terguncang-guncang.
Ia menubruk dan memelukku.
“Aku pun mencari bapa.
Empat puluh dua tahun mencari bapa.”
Begitu ia berkata sembari tersedu.

Kereta api menderu —
Kami semua mencari bapa.
Masinis dan penumpang juga.

Kereta api menderu: jawaban tidak menentu. —-
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dan kota ke kota: kami rampok toko-tokonya. —
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dan desa ke desa: kami rampok panennya. —
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.

Kereta api menembus malam,
menembus siang,
menembus minggu dan bulan,
menembus tahun —
tujuh tahun.

Kereta api yang menderu terhenti.
Waktu siang, matahari di puncak kepala.
Seorang gembrot mengangkang di jalan kereta.
Tangannya diacungkan
dan di belakangnya
ada seratus anak buahnya.
Si gembrot adalah penyamun yang ternama.

“Suto ! Keluarlah kamu !“ ia berseru.

Aku keluar. Melangkah ke depannya.
“Kamu mencari bapa.
Aku adalah bapamu.
Dan seratus anak buahku mi
adalah bapa anak buahmu”.
Aku menatap matanya
Aku melihat semak belukar,
ketonggeng, lipan dan ular.
Aku berkata: “Enyahlah kamu!
Aku telah menatap kamu.
Aku tidak melihat langit dan bumi.
Kamu bukan ayahku!
Seratus buah anak buahmu
sudah teler kemaluannya.
Mereka tak punya anak !“

Segera si gembrot berkata pu1a
“Dengarkan, Suto.
Rumahku besar. Pelayanku seribu.
Istriku mati ketika melahirkan kamu.
Lalu aku menikah sembilan kali lagi.
Kamu dulu suka menggambar
di lantai dan di tembok.
Dan kamu suka melenguh seperti lembu.
Kamu meniup suling untuk menggangguku,
karena itu aku gampar kamu.
Tetapi kamu membandel.
Malah menatapku dengan matamu yang bego.
Lalu aku usir kamu.
Kamu lihat sekarang,
aku adalah ayahmu !“

Begitu ia selesai ngomong,
tanganku yang kiri
menonjok ulu hatinya.
Dan ketika ia terbungkuk
aku jitak ubun-ubunnya.
Ia glangsaran.
Dengan injakan kaki
aku patahkan lengannya.
“Sarat !“ kataku. “Kamu bukan ayahku.”

Kereta api menderu: menyemburkan api rindu.
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dari kota ke kota: kami berdebar dan bertanya.
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dari desa ke desa: kami membaca kuburan tua.
Ya, bapa. Ya, bapa. ‘Ya, bapa.
Kereta api menembus tahun, menembus barat,
menembus utara,
berputar melingkar —
sebelas tahun lamanya.

Tiba-tiba kereta api terhenti.
Di depan menghadang penglihatan istimewa:
seorang tua yang tampan,
dengan dandanan adat yang sempurna,
menghadang di jalan.
Di depannya tergelar hidangan pesta:
buah-buahan, sate, ayam panggang,
danjuga para wanita.
Di belakangnya truk-truk yang baru
penuh dengan barang-barang yang di-pak rapi
semuanya baru datang dan gudang.

“Aku mohon ketemu Suto !“ katanya.
Aku keluar: “Namaku Suto.”

“Aku persembahkan hantaran ini,” katanya pula.
“Enam puluh tahun aku menunggu.
Warta tentangmu telah tersebar.
Kini aku gembira bisa bertemu.
Bisa mempersembahkan tanda-mataku.”

“Pemberianmu aku ambil. Terima kasih”

“Suto. Ingatlah: siapakah aku? Akulah bapamu!”
Aku menatap matanya.
Aku lihat banyak cahaya kunang-kunang,
permainan reklame neon,
dan gorden kain tetoron.

Sambil mendekat, aku berkata kepadanya:
“Mulutmu bau keranjang sampah.
Kamu bukan bapaku.
Sekarang: enyah!”

Ia menangis; Mengusap air mata dan berkata:
“Waktu kamu lahir
hujan turun dengan lebatnya.
Kamu dibesarkan di gedung samping.
Kamu suka menggambar.
Kamu pukul penjaga gudang dan kamu ambil sulingnya.
Anakku, apakah kamu sudah lupa kepadaku ?“

Aku ludahi mukanya.
Aku buka celanaku,
dan aku kencingi hidangan suguhannya.
Dengan pisau roti aku potong telinga kirinya.
“Minggat !“ seruku. Dan kereta menderu.

Kereta api menderu: membelah jiwa. —
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dari kota ke kota: membelah raga. __
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dari desa ke desa: membelah rasa. __
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.

Kereta api menyelam lautan.
Kereta api naik ke gunung-gunung.
Kereta api terbang di udara.
Ya, Tuhan, dua puluh tahun lamanya.

Tiba-tiba kereta api terhenti.
Hening. Tak ada apa-apa yang terjadi.
Cuma seorang wanita
dengan kebaya berenda.
Ia berdiri menunduk,
menghadang di tengah jalan.

Masmis berseru:
“Apa maumu ?“ — Hening.
“Siapakah kamu ?“ — Hening.
“Apakah kamu ingin mati ?“ — Hcning.

Aku turun dan menatap kepadanya.
Cahaya bintang remang-remang.
Tak bisa kulihat matanya.
Aku menatap, aku melihat teratai.

“Aku ingin kamu bicara!” kataku.
“Namaku Suto,” sambungku pula.
“Aku tahu.” Suaranya seakan-akan datang dan lembah.
“Aku mencari bapa.”
“Aku tahu.”
“Apakah kamu akan mengaku bapaku?”
Ia meludah.
“Siapakah namamu?” tanyaku.
“Gula-gula,” jawabnya.
“Apa pekerjaanmu?”
“Lonte.”

Aku melangkah lebih maju
dan kembali bertanya:
“Kamu mau apa ?“
“Aku akan naik keretamu.”
Lalu ia menengadah.
Matanya menatap padaku.
Aku melihat samodra
aku melihat kaki langit
aim melihat surya menikah dengan rembulan.
“Silahkan naik,” kataku.

Aku gandeng ia naik ke gerbong
dan seterusnya kami tetap bergandengan.
Lama-lama aku merasa
aku tidak mau melepas gandengan itu.
Aku usap punggung tangannya
dengan ibu jariku.
Aku melihat perahu di telaga.

Kereta api menderu: aku pegang dadanya.
Peluit kereta berseru: aku raba pahanya.
Desir angin masukjendela: astaga!
“Aku terpikat kamu,” kataku.
“Tahukah kenapa aku datang?” ia bertanya.
“Kenapa ?“
“Aku ingin tidur dengan semua teman-temanmu.”
“Tetapi aku ingin tidur dengan kamu.”
“Ya, itu bisa.
Tetapi aku juga ingin tidur
dengan teman-temanmu.”
“Apakah kamu….
“Kuat, maksudmu. ?“
“Ya.”
“Lihat saja nanti.”

Aku tidak berdaya.
Aku terpikat kepadanya.
Aku melihat batang-batang pimping
di bawah sinar rembulan.

Wanita itu berkata:
“Hentikan kereta!”

Kereta berhenti.
Kami berada di punggung gunung.
Lerengnya landai.
Di bawah adalah lembah.
Hari terang tanah.
Fajar akan tiba.

kami semua keluar dan kereta.
Wanita itu berdiri di tempat ketinggian.
Tubuhnya tampak sintal.
Wajahnya cantik.
Rambut-rambut lembut menghias dahinya.
Pinggul dan dadanya cukup semok.

Kami semua terdiam. Terpesona.
Fajar memancar dan dirinya:
“Orang-orang yang mencari bapa,
orang-orang dan kereta yang menderu,
aku datang kepadarnu.”
Begitu ia berseru
dengan resap dan berwibawa.
“Aku ingin tidur dengan kamu semua.”

Orang-orang menganga keheranan
“Tentu saja tidak bersama-sama,
tetapi satu per satu.”
Orang-orang menggosok matanya,
mencubit pahanya sendiri.
mereka tidak bermimpi.
Dan, lalu
teganglah semua kemaluan mereka.

Keributan hampir terjadi
tetapi aku segera berseru:
“Aku yang lebih dulu!”

Keributan terhenti
dan wanita itu berkata:
“Inilah satu hal yang penting.
Satu upacara yang sungguh-sungguh. Karena itu ada urutannya.”
“Ya, aku nomor satu!”
“Boleh saja. Begitulah sepantasnya.
Kamu akan membuka
dan menutup acara.
Tetapi yang aku maksud urutan
bukan itu.
Melainkan urutan tata-cara.
Pertama tentu saja:
kamu semua harus menyikat gigi.
Lalu mandi.
Kemudian kita sarapan bersama.
Setelah itu duduk-duduk lebih dulu. Baru kemudian kita mulai.
tanpa tata-cara mi, maksud aku gagalkan.”

“Kami semua akan mematuhinya!”
kataku. Dan semua setuju.
Sementara itu fajar telah sempurna.

Ia memimpin kami turun ke lembah.
Kami masuk ke dalam kali
dan mandi bersama.

Di air kali terbayang awan.
Sejuknya air masuk ke badan.
Sambil mandi memandang hutan.

Kami duduk di dalam kali.
Di dalam perut terkumpul hawa murni.
Hawa naik ke puncak kepala.
Ubun-ubun serasa terbuka.

Dan lalu kami sarapan di dalam hutan.
Rasa nasi, bau kayu api yang terbakar,
terasa satu di dalam keserasian.
Hutan, aku dan teman-teman
serasa saling terlibat
sejak jaman purbakala.

Sehabis sarapan,
kami rebah memandang mega.
Mendengar angin di antara daunan.

Semua berjalan
sesuai dengan anjurannya.
Kemudian ia menggandengku
kembali ke kereta
diikuti orang-orang lainnya.

Lalu masuklah kami ke dalam gerbong.
Yang lain pada antri menunggu.

Ia membuka pakaianku.
Pelan-pelan. Satu per satu.
Lalu tangannya meraba kemaluanku.
Dan ia masukkan lidahnya
ke dalam mulutku.

Selapik seketiduran.
Sebumi dan selangit.
Dua badan satu jiwa.
Dua jiwa satu badan.
Bulan dan surya telah lebur
menjadi kosong.

Begitulah telah terjadi. Bergoyang-goyang.
Kereta api membelah bumi.
Kami bertapa dan berkata:
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Kereta api membelah langit.
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dan kami berseru: Bapa kami di sorga.
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.

Kereta api menderu: berabad-abad lamanya.
Tiba-tiba kami saling memandang.
Menatap dalam-dalam. Melihat.
Dan saling berkata:
“Astaga. Baru sekarang aku sadari,
kamulah bapaku!”

Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dari kota ke kota: kami berkarya, kami bekerja.
Kepada orang di jalan kami berkata:
“Bapa. Aku putramu.”

Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Dari desa ke desa: kami mengolah, kami mencipta.
Dan kepada para petani kami berkata:
“Kamulah bapaku. Aku pulang untuk bekerja.”
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya,. bapa.

Bapa kami yang berada di sorga
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Kyrie, Eleison
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Allahu Akbar
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Namyo – Ho – Ren – Ge – Kyo
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Aum. Mani. Padme. Hum
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa.
Ya, Allah. Ya, Allah. Ya, Allah.
Laa illaha illallah.
Laa illaha ilallah.
Laa illaha ilallah.

Demikianlah Puisi “Mencari Bapak” Karya WS. Rendra

Analisis Puisi Mencari Bapak” Karya WS. Rendra

“Mencari Bapak” adalah salah satu puisi yang paling dikenal karya WS Rendra, seorang penyair besar Indonesia yang dikenal dengan julukan “Burung Merak.” Puisi ini mengandung makna yang dalam dan luas, mencerminkan pergulatan batin dan pencarian jati diri yang dialami oleh banyak orang. Dalam artikel ini, kita akan menganalisis sepuluh makna yang terkandung dalam puisi “Mencari Bapak” dan bagaimana makna-makna tersebut mencerminkan kehidupan manusia dan perjuangan sosial yang sering dihadapi.

1. Pencarian Identitas Diri

Salah satu tema utama dalam puisi ini adalah pencarian identitas diri. Rendra menggambarkan seorang anak yang mencari figur ayah sebagai simbol pencarian jati diri. Ayah dalam puisi ini tidak hanya sebagai sosok biologis, tetapi juga sebagai representasi dari akar, asal-usul, dan identitas yang hilang. Ketika seseorang mencari “bapak,” itu berarti mereka mencari pengakuan dan pemahaman tentang siapa diri mereka sebenarnya.

Pencarian identitas diri adalah proses yang esensial dan universal. Dalam puisi ini, pencarian tersebut digambarkan melalui perjalanan batin sang anak yang mencoba menemukan sosok ayahnya. Sang ayah di sini melambangkan sesuatu yang lebih dari sekadar orang tua; dia adalah lambang dari asal-usul dan sejarah pribadi seseorang. Ini menekankan pentingnya mengetahui latar belakang dan asal-usul kita untuk memahami siapa kita sebenarnya di masa kini.

Identitas diri seringkali terbentuk dari lingkungan, keluarga, dan pengalaman hidup kita. Tanpa pemahaman yang jelas tentang asal-usul kita, kita mungkin merasa kehilangan arah dan tujuan. Rendra menggunakan figur ayah sebagai metafora untuk menunjukkan betapa pentingnya memiliki panduan dan pemahaman tentang jati diri. Ketika kita kehilangan kontak dengan asal-usul kita, kita bisa merasa terombang-ambing dan tidak memiliki arah yang jelas dalam hidup.

Selain itu, puisi ini juga menunjukkan bagaimana pencarian identitas diri sering kali melibatkan perjalanan yang penuh dengan rintangan dan tantangan. Proses ini mungkin melibatkan pencarian akan makna hidup, tujuan, dan nilai-nilai yang kita anut. Dengan menggunakan simbol ayah, Rendra menggambarkan bagaimana individu harus melalui proses introspeksi yang mendalam untuk menemukan siapa mereka sebenarnya. Identitas diri bukanlah sesuatu yang diberikan secara instan, tetapi harus dicari dan ditemukan melalui perjalanan hidup yang kompleks.

2. Kehilangan dan Kerinduan

Puisi ini sarat dengan tema kehilangan dan kerinduan. Kehilangan seorang ayah bukan hanya kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan bimbingan, perlindungan, dan kasih sayang. Rasa rindu yang mendalam tergambar dalam setiap baris puisi ini, mencerminkan betapa pentingnya figur ayah dalam kehidupan seseorang. Kerinduan ini juga bisa ditafsirkan sebagai kerinduan terhadap masa lalu, tradisi, atau nilai-nilai yang mulai pudar.

Kehilangan adalah pengalaman universal yang dirasakan oleh semua orang. Rendra menggambarkan perasaan ini dengan sangat mendalam, menunjukkan bagaimana kehilangan seorang ayah bisa mempengaruhi hidup seseorang. Kehilangan bukan hanya tentang tidak adanya seseorang di sisi kita, tetapi juga tentang kehilangan dukungan emosional dan moral yang diberikan oleh figur ayah. Ayah dalam konteks ini melambangkan sumber kekuatan dan stabilitas, yang ketika hilang, meninggalkan kekosongan yang dalam.

Kerinduan yang digambarkan dalam puisi ini juga mencerminkan keinginan untuk kembali ke masa lalu atau untuk menemukan kembali nilai-nilai dan tradisi yang telah hilang. Rendra menunjukkan bahwa kehilangan ini bukan hanya bersifat pribadi, tetapi juga kolektif. Kerinduan ini mencerminkan keinginan untuk kembali ke akar dan menemukan kembali identitas yang mungkin telah terlupakan dalam perjalanan hidup.

Selain itu, puisi ini juga menggambarkan bagaimana perasaan kehilangan dan kerinduan bisa menjadi dorongan untuk melakukan pencarian dan perjalanan. Rasa rindu yang mendalam mendorong individu untuk mencari sesuatu yang hilang, baik itu figur ayah, nilai-nilai tradisional, atau jati diri. Ini menunjukkan bahwa kehilangan dan kerinduan tidak hanya membawa kesedihan, tetapi juga bisa menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk mencari dan menemukan makna dalam hidup.

3. Kritik Sosial dan Politik

Rendra dikenal sebagai penyair yang vokal dalam mengkritik kondisi sosial dan politik. Dalam “Mencari Bapak,” ia menyisipkan kritik terhadap situasi politik dan sosial di Indonesia. Figur ayah dapat diartikan sebagai pemimpin atau pemerintah yang ideal, yang diidamkan namun sulit ditemukan. Ketiadaan figur ayah mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin yang tidak mampu memenuhi harapan rakyat.

Puisi ini menggambarkan kekecewaan dan frustrasi terhadap pemimpin yang tidak hadir atau tidak mampu memberikan bimbingan dan perlindungan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ayah dalam konteks ini melambangkan sosok pemimpin yang ideal, yang diharapkan bisa memberikan arahan, keamanan, dan keadilan. Ketika pemimpin yang ideal ini tidak ada, masyarakat merasa kehilangan dan terlantar.

Rendra menggunakan metafora ayah untuk mengkritik pemimpin yang gagal memenuhi tanggung jawab mereka. Kritik ini relevan dengan situasi politik di Indonesia pada masanya, di mana banyak pemimpin dianggap korup dan tidak peduli terhadap kesejahteraan rakyat. Puisi ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin yang tidak mampu memenuhi harapan mereka dan yang sering kali lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat.

Selain itu, puisi ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat sering kali mencari figur pemimpin yang bisa memberikan harapan dan inspirasi. Kehilangan figur ayah dalam puisi ini mencerminkan keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin yang bisa diandalkan dan yang bisa memberikan bimbingan yang jelas. Ketiadaan pemimpin yang ideal ini membuat masyarakat merasa terombang-ambing dan kehilangan arah.

Dengan menggunakan figur ayah sebagai simbol, Rendra berhasil menggambarkan kekecewaan dan frustrasi masyarakat terhadap situasi politik dan sosial yang ada. Puisi ini tidak hanya menggambarkan masalah pribadi, tetapi juga masalah kolektif yang dihadapi oleh masyarakat. Kritik sosial dan politik yang disampaikan Rendra dalam puisi ini tetap relevan hingga saat ini, mengingat tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam mencari pemimpin yang bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan.

4. Pemberontakan dan Perjuangan

Puisi ini juga mengandung unsur pemberontakan dan perjuangan. Anak yang mencari ayahnya tidak tinggal diam, melainkan terus berusaha menemukan sosok yang diidamkan. Ini menggambarkan semangat perjuangan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan. Pemberontakan ini tidak selalu harus bersifat fisik, tetapi bisa juga berupa perjuangan mental dan emosional untuk menemukan kebenaran dan keadilan.

Pemberontakan dan perjuangan adalah tema yang sering muncul dalam karya-karya Rendra. Dalam “Mencari Bapak,” pemberontakan ini digambarkan melalui usaha sang anak untuk menemukan ayahnya. Usaha ini menunjukkan keinginan untuk tidak menyerah dan terus berjuang meskipun menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Semangat perjuangan ini mencerminkan keinginan untuk memperbaiki keadaan dan mencari kebenaran.

Perjuangan dalam puisi ini juga bisa diartikan sebagai perjuangan mental dan emosional. Sang anak harus menghadapi perasaan kehilangan, kerinduan, dan kekecewaan, tetapi dia tidak menyerah. Dia terus mencari dan berusaha menemukan sosok ayah yang diidamkan. Ini menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga melibatkan usaha mental dan emosional yang besar.

Selain itu, puisi ini juga menggambarkan bagaimana pemberontakan dan perjuangan bisa menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Sang anak tidak menyerah meskipun menghadapi berbagai kesulitan. Ini menunjukkan bahwa perjuangan dan pemberontakan bisa menjadi cara untuk menemukan kekuatan dalam diri sendiri dan untuk terus berusaha mencapai tujuan yang diinginkan.

Rendra juga menunjukkan bahwa pemberontakan dan perjuangan adalah bagian dari proses pencarian makna dan keadilan. Melalui usaha untuk menemukan ayahnya, sang anak menunjukkan bahwa dia tidak puas dengan keadaan yang ada dan ingin mencari kebenaran dan keadilan. Ini menggambarkan semangat untuk tidak menerima keadaan yang tidak adil dan untuk terus berjuang memperbaiki keadaan.

5. Makna Keluarga dan Kebersamaan

Keluarga dan kebersamaan adalah tema penting yang tercermin dalam puisi ini. Kehadiran seorang ayah sebagai pemimpin keluarga sangat penting dalam membentuk karakter dan nilai-nilai seseorang. Puisi ini menggambarkan betapa pentingnya peran keluarga dalam memberikan dukungan, pengajaran, dan cinta. Ketiadaan ayah juga menunjukkan betapa rapuhnya struktur keluarga tanpa adanya figur otoritas dan kasih sayang.

Rendra menggambarkan bagaimana keluarga adalah fondasi penting dalam kehidupan seseorang. Kehadiran seorang ayah sebagai pemimpin keluarga memberikan rasa aman dan bimbingan yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Ayah dalam puisi ini melambangkan sumber kekuatan dan stabilitas yang sangat penting dalam membentuk karakter dan nilai-nilai seseorang.

Puisi ini juga menunjukkan bagaimana ketiadaan ayah bisa mempengaruhi struktur keluarga dan hubungan antar anggota keluarga. Tanpa figur ayah yang memberikan bimbingan dan kasih sayang, keluarga bisa merasa terombang-ambing dan tidak memiliki arah yang jelas. Kehadiran ayah juga menciptakan ikatan emosional yang kuat antara anggota keluarga, yang memberikan dukungan dan kekuatan saat menghadapi tantangan dan kesulitan dalam hidup.

Dalam puisi ini, Rendra juga menyoroti pentingnya kebersamaan dalam keluarga. Meskipun sang anak sedang mencari ayahnya sendiri, dia tidak sendirian dalam perjalanannya. Ada rasa solidaritas dan dukungan antara anggota keluarga, yang saling mendukung satu sama lain dalam pencarian mereka. Kebersamaan dalam keluarga menjadi sumber kekuatan dan ketahanan saat menghadapi ketidakpastian dan kesulitan dalam hidup.

Selain itu, puisi ini juga menggambarkan bagaimana keluarga adalah tempat di mana individu belajar tentang cinta, komitmen, dan pengorbanan. Ayah dalam puisi ini merupakan simbol dari kasih sayang dan perlindungan yang diberikan oleh figur otoritas dalam keluarga. Kehadirannya menciptakan ikatan yang kuat antara anggota keluarga, yang memberikan rasa keamanan dan stabilitas dalam kehidupan sehari-hari.

Keluarga juga merupakan tempat di mana individu belajar tentang nilai-nilai moral dan etika. Ayah dalam puisi ini tidak hanya berperan sebagai pemimpin keluarga, tetapi juga sebagai guru dan teladan bagi anak-anaknya. Kehadirannya menciptakan lingkungan di mana nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab diajarkan dan dipraktikkan secara aktif.

Dengan menggunakan figur ayah dan keluarga sebagai simbol, Rendra berhasil menggambarkan betapa pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter dan nilai-nilai seseorang. Puisi ini mengingatkan kita akan kekuatan dan pentingnya hubungan keluarga dalam memberikan dukungan, cinta, dan pengertian dalam hidup. Ini juga menekankan betapa rapuhnya struktur keluarga tanpa adanya figur ayah yang memberikan bimbingan dan kasih sayang.

6. Eksistensialisme dan Keterasingan

Puisi ini juga mengandung unsur eksistensialisme, di mana tokoh dalam puisi merasa terasing dan terpisah dari makna hidupnya. Pencarian ayah adalah simbol dari pencarian makna dan tujuan hidup. Keterasingan yang dirasakan oleh anak dalam puisi ini mencerminkan perasaan banyak orang yang merasa tidak menemukan tempat atau makna dalam kehidupan mereka.

Eksistensialisme adalah filsafat yang menekankan pentingnya individu untuk menemukan makna dan tujuan hidup mereka sendiri. Dalam puisi ini, sang anak mencari ayahnya dalam upaya untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya. Keterasingan yang dirasakannya mencerminkan perasaan kekosongan dan kebingungan yang sering dialami oleh individu dalam mencari makna hidup mereka.

Puisi ini juga menunjukkan bagaimana pencarian makna hidup bisa menjadi perjalanan yang penuh dengan kesulitan dan ketidakpastian. Sang anak merasa terombang-ambing dan tidak memiliki arah yang jelas dalam hidupnya. Dia mencari ayahnya sebagai cara untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya dan untuk menemukan makna dalam kehidupannya.

Selain itu, puisi ini juga menggambarkan bagaimana individu kadang-kadang merasa terasing dari lingkungan mereka dan tidak dapat menemukan tempat mereka dalam dunia yang kompleks ini. Keterasingan yang dirasakan oleh sang anak mencerminkan perasaan kebingungan dan kekosongan yang sering dialami oleh individu dalam mencari makna hidup mereka.

Dengan menggunakan figur ayah dan pencarian identitas sebagai simbol, Rendra berhasil menggambarkan perjuangan eksistensial yang dialami oleh individu dalam mencari makna hidup mereka. Puisi ini mengingatkan kita akan kompleksitas kehidupan manusia dan tantangan yang dihadapi dalam mencari makna dan tujuan hidup. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya untuk memahami diri sendiri dan mencari makna dalam kehidupan kita.

7. Tradisi dan Modernitas

Dalam puisi ini, Rendra juga mengangkat tema benturan antara tradisi dan modernitas. Ayah sebagai simbol tradisi dan nilai-nilai lama sering kali sulit ditemukan dalam dunia modern yang serba cepat dan berubah. Pencarian ayah adalah pencarian akan nilai-nilai tradisional yang mungkin telah hilang atau tergerus oleh kemajuan zaman. Ini mencerminkan kekhawatiran terhadap hilangnya jati diri budaya dalam arus modernisasi.

Tradisi adalah bagian penting dari identitas suatu masyarakat. Nilai-nilai, kepercayaan, dan praktik tradisional membentuk dasar dari kebudayaan suatu bangsa. Namun, dalam dunia yang terus berkembang ini, banyak nilai-nilai tradisional yang terancam punah atau tergeser oleh nilai-nilai modern. Puisi ini menggambarkan kekhawatiran atas kehilangan identitas budaya dan tradisi yang telah lama dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Dalam puisi ini, sang anak mencari ayahnya sebagai simbol dari nilai-nilai tradisional yang ingin dia pertahankan. Dia merasa terasing dan terpisah dari lingkungan modern yang tidak lagi menghargai nilai-nilai lama dan tradisi. Pencarian ayahnya adalah upayanya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah terlupakan oleh masyarakat modern.

Selain itu, puisi ini juga menunjukkan bagaimana perjuangan antara tradisi dan modernitas bisa menjadi sumber konflik dan ketegangan dalam masyarakat. Sang anak merasa terbelah antara dunia tradisional yang diwakili oleh ayahnya dan dunia modern yang diwakili oleh lingkungan sekitarnya. Konflik ini mencerminkan pertarungan antara masa lalu dan masa kini, antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru.

Dengan menggunakan figur ayah sebagai simbol, Rendra berhasil menggambarkan perjuangan antara tradisi dan modernitas dalam puisi ini. Pencarian ayah oleh sang anak mencerminkan keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai
tradisional dalam menghadapi tantangan modernisasi. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan pentingnya mempertahankan akar budaya dan nilai-nilai tradisional dalam menghadapi perubahan zaman. Ini juga menyoroti perlunya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan berkelanjutan.

8. Simbolisme Ayah dalam Konteks Religius

Ayah dalam puisi ini juga bisa ditafsirkan sebagai simbol dari Tuhan atau entitas spiritual yang lebih tinggi. Pencarian ayah menjadi pencarian akan makna spiritual dan hubungan dengan yang Ilahi. Rasa kehilangan dan kerinduan mencerminkan kebutuhan manusia akan hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan atau pencarian makna spiritual yang sering kali dirasa hilang dalam kehidupan sehari-hari.

Simbolisme ayah dalam konteks religius menggambarkan keinginan manusia untuk mencari dan menghubungkan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Ayah sebagai figur otoritas dan kasih sayang menjadi simbol dari hubungan yang erat antara manusia dan Tuhan. Pencarian ayah oleh sang anak mencerminkan keinginan untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam dan hubungan yang lebih intim dengan yang Ilahi.

Puisi ini juga menunjukkan bagaimana pencarian spiritual bisa menjadi perjalanan yang penuh dengan tantangan dan kesulitan. Sang anak merasa terasing dan terpisah dari Tuhan, seperti halnya dia merasa terasing dan terpisah dari ayahnya. Namun, dia terus mencari dan berusaha menemukan hubungan yang hilang tersebut, seperti halnya dia terus berjuang untuk menemukan ayahnya.

Selain itu, puisi ini juga menyoroti pentingnya hubungan spiritual dalam membentuk identitas dan nilai-nilai seseorang. Pencarian ayah oleh sang anak adalah upayanya untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam dan untuk mengatasi perasaan kekosongan dan kebingungan yang dirasakannya. Hubungan spiritual dengan Tuhan menjadi sumber kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup.

Dengan menggunakan simbolisme ayah dalam konteks religius, Rendra berhasil menggambarkan perjalanan spiritual yang dialami oleh individu dalam mencari makna hidup dan hubungan yang lebih dalam dengan yang Ilahi. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan pentingnya hubungan spiritual dalam membentuk identitas dan nilai-nilai kita. Ini juga mengingatkan kita akan kebutuhan akan hubungan yang lebih besar dari diri kita sendiri untuk menemukan makna yang lebih dalam dalam hidup.

9. Peran Gender dan Maskulinitas

Rendra juga mengangkat isu peran gender dan maskulinitas dalam puisi ini. Ayah sebagai simbol maskulinitas tradisional menampilkan harapan-harapan terhadap peran laki-laki dalam masyarakat. Puisi ini mengajak kita untuk mempertanyakan kembali peran gender yang telah dikonstruksi secara sosial dan bagaimana harapan-harapan tersebut mempengaruhi pencarian identitas diri. Ayah yang ideal mungkin adalah representasi dari maskulinitas yang kuat, tetapi juga penyayang dan bijaksana.

Peran gender dan maskulinitas adalah isu yang kompleks dan sering kali diperdebatkan dalam masyarakat. Dalam puisi ini, ayah digambarkan sebagai figur yang kuat dan bijaksana, yang memberikan bimbingan dan perlindungan bagi anak-anaknya. Namun, ketiadaan ayah mencerminkan ketidakstabilan dan kekosongan dalam peran gender tersebut.

Puisi ini menunjukkan bagaimana harapan-harapan terhadap peran gender bisa mempengaruhi pencarian identitas diri seseorang. Sang anak mencari ayahnya sebagai simbol dari harapan akan pemimpin yang kuat dan penyayang. Namun, ketiadaan ayah membuatnya merasa terombang-ambing dan kehilangan arah dalam hidupnya.

Selain itu, puisi ini juga menggambarkan bagaimana konstruksi sosial tentang maskulinitas bisa menjadi beban bagi individu. Sang anak merasa tertekan oleh harapan-harapan yang ditempatkan padanya sebagai laki-laki. Dia mencari ayahnya sebagai cara untuk memahami dan menemukan kembali identitas maskulinitasnya yang sejati.

Dengan menggunakan figur ayah sebagai simbol, Rendra berhasil menggambarkan kompleksitas peran gender dan maskulinitas dalam masyarakat. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali harapan-harapan dan konstruksi sosial yang ditempatkan pada peran gender kita. Ini juga mengingatkan kita akan pentingnya membebaskan diri dari ekspektasi yang tidak realistis dan menemukan identitas kita sendiri di luar peran gender yang telah ditetapkan oleh masyarakat.

10. Harapan dan Desilusi

Terakhir, puisi ini juga menggambarkan tema harapan dan desilusi. Pencarian ayah yang tidak kunjung selesai mencerminkan harapan yang terus menerus ada, tetapi juga desilusi ketika harapan tersebut tidak terwujud. Ini menggambarkan realitas kehidupan di mana tidak semua harapan dan impian dapat terwujud, namun manusia terus berusaha dan berharap. Desilusi ini juga bisa diartikan sebagai kritik terhadap idealisme yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.

Harapan adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Dalam puisi ini, sang anak memiliki harapan untuk menemukan ayahnya dan memperbaiki hubungan yang terputus. Namun, ketiadaan ayah membuatnya merasa putus asa dan kecewa. Puisi ini menggambarkan bagaimana harapan bisa menjadi sumber motivasi dan inspirasi, tetapi juga bisa menjadi sumber penderitaan dan kekecewaan.

Selain itu, puisi ini juga menunjukkan bagaimana desilusi bisa menjadi pelajaran berharga dalam hidup. Sang anak belajar untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua harapan dapat terwujud, tetapi dia tetap berusaha dan berharap. Desilusi ini mengajarkannya untuk lebih realistis dalam menetapkan harapan dan untuk menghargai apa yang telah dimilikinya.

Dengan menggunakan tema harapan dan desilusi, Rendra berhasil menggambarkan realitas kehidupan yang kompleks dan sering kali penuh dengan tantangan. Puisi ini mengajarkan kita bahwa meskipun kita mungkin menghadapi kekecewaan dan desilusi di sepanjang jalan, penting untuk tetap memiliki harapan dan terus berusaha mencapai tujuan kita. Harapan adalah apa yang mendorong kita untuk maju, meskipun kadang-kadang menghadapi rintangan dan hambatan.

Puisi “Mencari Bapak” oleh WS Rendra merupakan karya sastra yang kaya akan makna dan interpretasi. Melalui simbolisme ayah dan perjalanan pencarian sang anak, Rendra menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk pencarian identitas diri, kerinduan, kritik sosial dan politik, perjuangan eksistensial, dan konflik antara tradisi dan modernitas. Puisi ini juga menyoroti tema-tema seperti keluarga, spiritualitas, peran gender, dan dinamika harapan dan desilusi dalam kehidupan.

Dengan analisis mendalam terhadap setiap makna yang terkandung dalam puisi ini, kita dapat memahami betapa kompleksnya pengalaman manusia dan berbagai tantangan yang dihadapi dalam perjalanan hidup. Puisi ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan dan memahami lebih dalam tentang makna hidup dan perjuangan manusia.

Sebagai penutup, “Mencari Bapak” oleh WS Rendra adalah karya sastra yang menginspirasi dan memberi kita wawasan tentang berbagai aspek kehidupan manusia. Melalui puisi ini, kita diajak untuk merenungkan makna hidup, peran kita dalam masyarakat, dan bagaimana kita dapat mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam perjalanan kita.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *